Ujung Pisah

Kelam yang mega-mega ciptakan, begitu mendesak jiwaku pada ambang kesenduan. Kehilangan yang tak berkesudahan. Kini jarakpun semakin membuat menelan kamu hingga dua meter di atas bumi. Menjadikan aku hidup sendiri. Perpisahan yang tak lagi menuntut kembali, ataupun mengutuk rindu agar berhenti tinggal di hati.

"Apa yang kau lakukan, Tuan?" 

Sulur-sulur hujan ataukah air mata yang membasahi pipi? Itu tak penting lagi. Sebab dengan basahnya tanah ini, mengingatkan aku, bahwa kita bukan lagi satu.

"Kau meninggalkan aku dalam kesendirian, lagi?"

Kau bahkan takkan lagi dapat menghubungi, hanya untuk sekadar berbagi kabar. Mendongengkan putri yang menemukan pangerannya. Inikah sebab cerita putri raja tak memiliki akhir? Karena yang sebenarnya adalah pangeran tak pamit berperang untuk pulang, namun untuk hilang.

"Tuan, bagaimana aku akan ada tanpamu? Napasku adalah kamu," Lirihku sendu sembari berlari pergi, tanpa mau menatap kamu yang sudah tenang di tempat ini.

Kutatap kembali mega yang terlihat suntuk dan buana yang bergemeletuk. Seakan muak dengan permainan takdir yang sangat menjengkelkan. Aku dan daunan yang jatuh pun sama, marah dan memilih pergi meski rindu akan selalu menelanjangi kebenaran hati, bahwa kamu dan namamu masih ada di sini. Tepat di antara jiwaku yang sepi.

"Puan? Kau tak apa?"

Bahkan aku tak tahu apakah aku akan ada dan berdiri untuk hari esok tanpa hadirnya Tuanku yang begitu kurindukan.

"Tidak, tidak apa."

Bumi dan langitpun tahu bagaimana napasku masih ada kala sakit kian mendesak jiwaku pada kesaksian cintamu.