Stereotip Keras Pemilu Pamekasan Berujung Carok

Madura sebagai etnis keras yang dilihat dari sosio-geografis yang gersang. Sebagaimana wilayah yang gersang yang mendukung kekerasan yang ditimbulkan dari efek sinar matahari yang menyengat pada tubuh, sehingga mengalami metabolisme dan karakter kekarasan.

Kekerasan itulah yang menjadi karakter atau stereotipe yang banyak dikenal dan dianggap negatif oleh orang lain. Menurut  KA. Daridiri Zubairi dalam buku “Rahasia Perempuan Madura” terdapat dua alasan stereotipe kekerasan itu muncul. Faktor pertama, orang Madura sendiri memang terperangkap dalam cara pandang untuk bersikap keras dan berani, seperti yang dicitrakan. Citra keras dan berani segera meledak ketika menghadapi masalah. Dengan demikian seorang Madura yang yang low profile dan lembut, terkadang dipertanyakan ke-Madura-annya.

Faktor kedua, orang luar menyandera orang Madura untuk tetap terpenjara dalam citra keras yang sudah terbentuk. Orang Madura yang sudah telanjur dicap keras, nama etnisnya dicatut oleh orang dari suku lain, misalnya Jawa, untuk menakut-nakuti atau bahkan untuk berbuat kejahatan.[1]

Dalam beberapa kasus belakang ini, tentu etnis Madura berbeda dengan etnis lainnya, yaitu pada pemilihan kepala desa (kades). Dalam pemilihan pemimpin desa, masyarakat terlalu fanatik terhadap pemimpinnya, sehingga jika ada yang menggungjing, intimidasi, dan menghujatnya, maka pendudukung antara kubu tidak akan terima, kemudian terjadilah sebuah konflik yang berakibat pertumpahan darah.

Sebagaimana liputan reporter CCN Indonesia, kejadian ricuh berujuk carok karena kebacotan antara kubu yang berbeda meskipun di antara keduanya menjalin kekerabatan yang dekat. Kejadian ini, terjadi di dusun Tenggina II, Desa Palengaan Daya, Kecamatan Palengaan Kabupaten Pamekasan di pulau Madura.[2]

Perkelahian tersebut menjadi bukti bahwa stereotipe Madura sangat lekat dan tidak bisa ditoleran lagi. Tidak hanya itu, perkelahian yang berujung saat pemilu terjadi di desa pada umumnya, ada yang sampai jatuh korban atau hanya sebatas luka. Hal tersebut, dilatar belakangi oleh perpolitikan yang semakin sengit untuk memenangkan pasangan calon yang telah didukung.

Bukan hanya pada pemilu, carok yang terjadi di Madura itu juga timbul dari masalah yang terjadi pada rumah tangga yaitu seperti masalah tanah, istri dan lain sebagainya.

Maka dari situ dapat kita rasakan bahwa karakter dari masyarakat madura itu sangat keras sehingga dapat menimbulkan terjadinya carok atau saling ingin membunuh antar sesama. Dari hal tersebut sulit rasanya untuk mengantisipasi yang menjadi kebiasaan masyarakat Madura yang sangatlah tidak baik untuk kita tiru dan diterapkan.

Oleh karena itu, kita sebagai makhluk sosial haruslah tolong menolong, saling menghargai satu sama lain sehingga rasa benci yang akan timbul di hati kita itu sulit untuk datang, dan ketika terjadi suatu masalah maka di situ harus ada penyelesaian dengan cara yang baik sehingga tidak terjadi masalah yang akan membawa kita ke ranah yang lebih membahayakan diri kita bahkan orang lain. Karena semua yang terjadi dari kejadian di atas itu tidak lepas dari yang namanya ketidak terimaan atau juga dari korban sakit hati yang ujung-ujungnya yang membawa mereka kepada persengketaan bahkan berujung kematian. Oleh sebab itu mari kuatkan iman kita agar kita terlepas dari pada itu.


[1] Dardiri Zubairi, Rahasia Perempuan Madura (Surabaya: Al-Afkar Press, 2013) hlm. 43

[2] www.CCNINDONESIA.com, Beda Pilihan Politik Pemilu, Warga di Pamekasan Saling Bacok diakses pada tanggal 20 November 2019 pada pukul 12.09

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.

Related Articles
Penulis

Admin Ruang Sekolah

Tulisan Baru
Feb 19, 2024, 12:11 PM - Ruang Sekolah
Feb 19, 2024, 12:09 PM - Ruang Sekolah
Feb 19, 2024, 12:05 PM - Ruang Sekolah
Feb 19, 2024, 12:03 PM - Ruang Sekolah
Feb 19, 2024, 11:59 AM - Ruang Sekolah