Secret Admirer

Semburat kemerahan muncul dari pipiku. Entah bagaimana, aku hanyut dalam tawamu yang renyah. Membuat tarikan tipis dari sudut bibirku mengembang.

Aku bukan tipikal orang yang jutek. Namun memiliki wajah yang sama sekali tak ada kesan murah hati, membuatku di cap sebagai perempuan yang jarang senyum, dan terkesan jutek.

Tapi sebenarnya aku hobi tertawa, di bandingkan tersenyum. Namun ketika aku lihat wajah nya yang manis, menikmati setiap pergerakan lelaki itu. Secara tak sadar aku tersenyum hangat, di balik sebuah buku tulis yang kugunakan sebagai penutupnya.

Ketika ia menebar tawa bersama teman kelasnya, aku rasa cukup hanyut untuk sekedar mengaguminya.

Dalam hati aku berharap dia menatapku barang sejenak. Mengingat jelas wajahku, agar saat nanti berpapasan aku sudah di kenal olehnya. Hingga harapan lebihku, menjadi seorang teman dekat yang selalu ada di sisinya. Tapi jelas itu hanya sebuah harapan, lain dengan kenyataan.

Saat aku berjalan menuju salah satu temannya, dia menutup akses jalan tersebut. Duduk di sebuah kursi acak, yang dia tempatkan di tengah-tengah barisan. Saat aku berjalan ia mulai menggeser mumbuka jalan, agar aku bisa melewati nya, dengan kukatakan, "Permisi, Kak." Seraya melewatinya.

Dia adalah kakak tingkatku. Mengingat hal tersebut, menyadarkanku dengan kemungkinan kecil untuk memiliki nya. Atau bahkan sekedar mengenalinya saja.

Setelah cukup lama aku dalam kelasnya, untuk mempromosikan apa yang aku dan kelempokku jual. Aku segera bergegas keluar kelasnya daripada terus di buat tertawa dengan tingkah laku mereka.

Saat keluar kelasnya, beberapa dari mereka pun ikut keluar untuk melepaskan banner yang di pasang di depan kelasnya. Beberapa langkah menjauh dari kelasnya, salah satu perempuan memanggil temanku.

"Nurul!" panggilnya cukup keras, membuat temanku dan termasuk aku menengok ke arahnya. "Nih Aji." Sambil menunjuk Aji.

Aku langsung saja bergegas menuju kelas. Mengabaikan perasaan yang berkecamuk di dalam hatiku. Kesal? Iya. Tapi bagaimanapun aku bukan siapa-siapa. Punya hak apa aku untuk marah?

Sebenarnya bukan hanya aku saja yang mengagumi Aji. Namun kedua temanku yang lain, sama hal nya denganku. Apalagi sekarang, Nurul temanku memiliki kesempatan yang jauh di atasku untuk mengenalinya.

Nurul bisa saja dibantu oleh perempuan tadi, yang notabanenya teman sekelas Aji. Apalagi setelah kita sampai kelas, perempuan tadi mengirim kontak Aji kepada Nurul, dan menyuruhnya untuk mengirim pesan terlebih dahulu.

Nurul kaget karena dikirim kontak Aji, dan bertanya kenapa, sampai akhirnya Nurul bercerita. "Kata Kak Nur, dia cuma bilang gini ke Kak Aji 'Aji ada yang kagum sama lo, yang tadi promosi' terus Kak Aji nya jawab gini 'Kasih aja WA gue, suruh chat.' Gitu coba, gue kan jadi malu. Ya kali gue chat duluan."

"Bagi dong no WA'nya, Rul," ucapku.

"Gak."

Rasanya sakit, tapi tak parah-parah amat. Lebih ke arah kesal, karena aku sadar Nurul jauh lebih di atasku.

Tapi seharusnya dia tak begitu pelit untuk membagi nomor WhatsAppnya. Karena aku pun sama tak akan mengirimnya chat, hanya menyimpannya saja.

Jika sudah seperti ini, sikap pesimis ku mulai membelenggu diriku lagi. Siapa yang akan menolak perempuan cantik dan terkenal? Apalagi Nurul temanku itu adalah tipikal perempuan yang mandiri dan pekerja keras. Untuk bersanding dengan Aji pun rasa nya pantas saja. Aji mungkin akan menjadi lelaki sabar yang menghadapi temanku itu.

Aku kesal. Tapi bukan berarti aku tak memberi semangat jika benar temanku itu akan bersama Aji. Silahkan saja, toh aku hanya sekedar kagum. Mengingat oranglain tahu aku lebih suka dengan seseorang yang bernama Dhika. Jadi tak begitu susah bagiku menyembunyikan rasa kesal karena tak bisa mengenal Aji.

Sebelumnya kisahku pun seperti ini. Tak jauh berbeda dengan mengagumi seseorang secara diam-diam dan tak mengenali nya. Sebelum Aji, aku lebih dulu kagum dengan teman tongkrongannya yang bernama Fadil. Tapi aku sudah tak kagum lagi ketika tahu ia sudah memiliki kekasih.

Beralih lagi ke seseorang yang bernama Dhika. Sebenarnya rasa kagumku sampai saat ini, mungkin sudah bisa di katakan bahwa aku menyukainya. Jika bertemu dia pun, hatiku merasa mencelos, dan bergerak cepat lari menjauh darinya. Hanya takut dia risih, karena teman-temanku selalu memanggil dan mengganggunya.

Tapi di lain aku suka dengan Dhika, aku kagum dengan Aji. Kenapa ya? Aku tidak tahu sih dengan hatiku, kenapa bisa seperti itu. Tapi yang jelas aku mulai kagum, karena Aji menolongku saat sepeda motor temanku tak mau menyala. Ia mambantu tanpa di suruh, dan tanpa di minta. Rasa nya hatiku berdebar melihat aksi Aji yang seperti pahlawan. Karenanya sepeda motor temanku menyala juga akhirnya.

Dari situ aku mengerti bahwa beberapa dari anak tongkrong-an tidak begitu menyebalkan. Ada juga yang peduli, seperti Aji. Dari situlah mulai rasa kagum untuk dirinya.

Saat Milad sekolahku, aku ikut berdiri di depan panggung. Menyanyi dan meloncat mengikuti alunan musik yang sedang di bawakan oleh kakak tingkatku. Anak tongkrong-an ikut serta atas itu. Lebih ke arah mengganggu sebenernya, namun tetap jika tak ada mereka sekolahku pasti akan datar saja.

Di salah satu dari mereka, aku melihat Aji yang duduk di pundak temannya. Ikut bergoyang mengikuti lantunan musik. Bisa saja aku ilfeel karena itu. Tapi melihat dia berbeda, dia tertawa lebar saat itu, dan itulah sebab aku masih tertarik padanya. DAMKAR yang disewa sekolah untuk memajukan acara hari itu, ikut serta atas kebahagian murid sekolahku.

Melihat Aji yang sudah basah kuyup dengan air, warna-warni di kaos putih yang ia pakai dan raut bahagia di wajahnya, membuatku tersenyum hangat. Walau aku sadar, wajah nya kini memucat, mungkin karena kedinginan akibat air yang disemprotkan dan kelelahan meloncat menikmati alunan musik.

Rasanya saat itu aku ingin berfoto, namun sangat sulit untuk mendapatkan nya. Pasal nya ia selalu saja bersama teman-teman nya. Malu jika meminta saat itu, mungkin akan di soraki oleh mereka. Jadi aku mengurungkan niat, dan mengubur dalam-dalam keinginanku saat itu. Suatu saat, entah itu kapan. Aku berharap ada suatu keajaiban untuk sekedar mengenalnya. Itu saja.

Dan sekarang aku sadar, untuk tidak lagi membayangkan hal yang tak perlu. Apalagi hujan yang menghantarku ke sebuah memori di mana ada aku yang melihatnya, dan menemaniku sejak tadi menceritakan semua kejadian yang kualami dengan menuliskannya di sini.

Suatu saat mungkin aku berani mengungkapkan cerita ini kepada dia. Atau kepada pembacaku, yang sangat spesial.

Jika pembacaku, sudah membaca nya. Berarti itu adalah bentuk keberanianku, yang sudah sejak lama bergelut dengan rasa gengsi dan akhirnya menang melawannya.

Dan aku memastikan, jika ceritaku ini sudah dibaca banyak orang. Berarti perasaanku pada nya sudah tak lagi sama. Aku berharap seperti itu. Dan semoga memang seperti itu.

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.

Penulis
Tulisan Baru
Feb 19, 2024, 12:11 PM - Ruang Sekolah
Feb 19, 2024, 12:09 PM - Ruang Sekolah
Feb 19, 2024, 12:05 PM - Ruang Sekolah
Feb 19, 2024, 12:03 PM - Ruang Sekolah
Feb 19, 2024, 11:59 AM - Ruang Sekolah